Tiga seri tulisan tentang metode RIA (Regulatory Impact Assessment) yang dimuat di harian ini dalam tiga hari berturut-turut (SM,16-19/4) patut mendapatkan apresiasi. Tiga tulisan yang ditulis orang-orang yang berasal dari lembaga yang sama yaitu Daya Prosumen Mandiri ini mendeskripsikan desain program evaluasi regulasi pemerintah dengan menggunakan metode RIA. Program Pemkot Semarang ini dirancang untuk menganalisis apakah regulasi yang ada sudah dirumuskan secara maksimal dengan melibatkan para stakeholder (pemangku kepentingan). Metode RIA mensyaratkan adanya tahap konsultasi kepada para pemangku kepentingan untuk meminta masukan atas sebuah kebijakan publik. Namun, penulis berpendapat apabila hal itu tidak dibarengi dengan penguatan masyarakat agar bisa ikut memengaruhi kebijakan niscaya akan membuat kebijakan tersebut tidak efektif. Ada dua prasyarat yang harus dipenuhi untuk membangun partisipasi publik yaitu adanya masyarakat sipil yang kuat dan adanya ruang publik yang adil. Tanpa kedua prasyarat tersebut maka partisipasi yang muncul tidak lebih hanya partisipasi semu. Tanpa bermaksud mengecilkan ikhtiar yang akan dilakukan oleh Pemkot Semarang dan Daya Prosumen Mandiri untuk membuat kebijakan pemerintah yang lebih baik, penulis ingin berbagi pengalaman saat terlibat dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam Proses Otonomi Daerah melalui Forum Warga yang diinisiasi oleh PP. Lakpesdam NU bekerjasama dengan Ford Foundation pada tahun 2004 di Kabupaten Batang. Program yang dilaksanakan oleh PP Lakpesdam NU tersebut dirancang untuk merumuskan konsep penguatan masyarakat sipil agar bisa memengaruhi proses pengambilan kebijakan di ruang publik. Forum Warga Secara jujur kita akui telah terjadi lompatan perubahan dalam sistem ketatanegaraan kita terutama secara prosedural, namun perlu kita cermati bahwa perubahan tersebut masih sebatas kulit luarnya saja. Artinya, pasca gegap-gempitanya pemilu dan terbentuknya parlemen (legislatif) serta terpilihnya presiden, wakil presiden, dan kepala daerah baru (eksekutif), warga kembali dijadikan sebagai “objek penderita” atas produk kebijakan yang dihasilkan oleh kedua lembaga tersebut. Warga tidak pernah lagi diajak untuk terlibat dalam proses penyusunan dan penetapan kebijakan, apalagi sampai pada tahap penganggaran. Beberapa persoalan di atas adalah kelemahan demokrasi prosedural yang menjebak warga sebatas pada proses partisipasi politik lima tahunan. Demokrasi prosedural belum menyentuh pada tataran yang lebih “substansial” di mana warga yang menjadi pemilik sah atas kedaulatan dan berhak terlibat penuh dalam proses pengambilan kebijakan yang menyangkut dirinya (demokrasi deliberatif). Secara konseptual, demokrasi deliberatif bisa menjadi alternatif jawaban untuk mengisi ruang yang kosong atas kelemahan demokrasi prosedural. Prinsip yang harus dipenuhi dalam mengembangkan demokrasi deliberatif adalah adanya keterlibatan warga untuk mengusulkan agenda-agendanya kepada pemerintah serta terlibat aktif dalam pengambilan kebijakan dan penganggaran. Otoritarianisme Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa telah menyebabkan negara ini tidak siap berdemokrasi. Di satu pihak, para penguasa menikmati kekuasaannya dan tidak ingin melepaskannya. Di lain pihak, masyarakat mengalami perpecahan dan depolitisasi sehingga kurang memiliki keterampilan dan pengaruh politis untuk memengaruhi kebijakan. Secara sederhana, konsep repolitisasi warga dikembangkan melalui 2 aras. Aras pertama, yakni proses people regrouping (pengorganisasian warga) yang dilakukan dengan memberikan technical assistency (pendampingan teknik) pendidikan kritis kepada para community organizer (CO) lokal yang selanjutnya menjadi fasilitator di tingkat kabupaten dan kecamatan. Merekalah yang bertugas mengorganisasikan kembali simpul-simpul warga yang semula berjalan sendiri-sendiri. Aras kedua merupakan rangkaian tak terpisahkan dari aras pertama, yakni upaya membuka ruang-ruang publik politis di mana Forum Warga dapat terlibat aktif dalam proses pengambilan kebijakan, baik melalui institusi-institusi representatif yang ada maupun dengan membuat ruang-ruang publik sendiri dengan mengundang para pemangku kebijakan. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam progran tersebut antara lain lokakarya Perencanaan Partisipatoris Program Pembangunan Desa (P4D) dan dialog-dialog publik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, dan bahkan nasional. Forum-forum inilah yang disebut sebagai ‘forum deliberatif’ meski lingkupnya masih sangat terbatas. Titik kritis Penulis khawatir, sebagaimana yang terjadi pada banyak program yang diiniasiasi oleh pemerintah, program RIA ini akan sia-sia karena hanya mengejar target program semata. Di Batang, dulu ada Perform Project yang digagas oleh Bappeda Batang dan didanai oleh lembaga donor internasional. Namun sekarang setelah program tersebut berakhir, “sisa-sisa” program tersebut “nyaris tak terdengar”. Di samping itu, penulis juga khawatir jika hasil analisis dengan metode RIA tidak diikuti dengan perubahan perilaku para pengambil kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan publik hanya akan menambah daftar panjang kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah. Selain itu, tanpa metode RIA sekalipun, masyarakat telah mempunyai mekanisme dan kriteria sendiri dalam menilai kebijakan publik. Masyarakat tidak akan terlalu terpengaruh dengan angka-angka statistik dan analisis “njlimet” yang dipaparkan oleh para ahli. Dalam pandangan mereka, asal harga beras masih terjangkau dan minyak tanah mudah diperoleh, itu sudah cukup!
M. Arif Rahman Hakim, S.S.
Aktivis Lakpesdam NU Batang
Tinggalkan Balasan