Di era tahun 1990-an Taman Hiburan Rakyat (THR) Kramat merupakan objek wisata favorit masyarakat Batang. Bahkan pada saat itu bisa dikatakan THR Kramat menjadi satu-satunya objek wisata yang berlokasi di dalam Kota Batang. Pantai Sigandu yang sekarang sudah berubah menjadi kawasan wisata yang ramai dikunjungi masyarakat, pada masa itu masih dipenuhi semak-belukar dan sulit diakses.
Namun seiring dengan perubahan zaman THR Kramat ditinggalkan oleh masyarakat. Akibatnya, banyak fasilitas di THR Kramat seperti kolam air, panggung terbuka, dan permainan anak menjadi terbengkalai. Bahkan citra negatif pun melekat pada THR Kramat sebagai tempat mesum.
Saat ini Pemkab Batang tengah berupaya mengembalikan kejayaan THR Kramat sebagai objek wisata andalan Kabupaten Batang. Renovasi berbagai fasilitas pun dilakukan. Bahkan untuk meramaikan kembali THR Kramat, Pemkab Batang mencanangkan THR Kramat menjadi Taman Rekreasi dan Budaya Kramat (TRBK).
Pencanangan TRBK sebagai pusat kebudayaan layak mendapat apresiasi. Mengingat sampai saat ini Batang belum memiliki sebuah tempat untuk menampung kreativitas para seniman Batang. Apalagi lokasinya berdekatan dengan banyak lembaga pendidikan yang merupakan ‘pasar’ potensial bagi pengembangan TRBK sebagai sebuah pusat kebudayaan.
Namun pertanyaannya, semudah itukah mengembangkan sebuah pusat kebudayaan? Yaitu cukup dengan membangun sebuah tempat yang kemudian dinamai sebagai taman budaya.
Pusat Kebudayaan
Pengembangan sebuah pusat kebudayaan tidak cukup hanya dengan membangun fisik bangunannya semata. Tanpa diikuti dengan upaya untuk menggairahkan kegiatan seni budaya bisa dipastikan pusat kebudayaan tersebut hanya akan menjadi sarang laba-laba saja alias tidak terpakai.
Oleh karena itu, TRBK yang telah dicanangkan sebagai pusat kebudayaan, dalam pengelolaannya tidak cukup hanya ditangani oleh Kantor Pariwisata. Tetapi juga harus melibatkan instansi atau lembaga yang bersinggungan dengan kegiatan seni budaya seperti Dinas Pendidikan dan Dewan Kesenian Daerah (DKD).
Keberadaan komunitas seni budaya yang ada di Kabupaten Batang juga tidak boleh dinafikan perannya dalam usaha untuk meramaikan TRBK sebagai sebuah pusat kebudayaan. Di Batang terdapat beberapa komunitas seni budaya yang layak untuk mengisi kegiatan seni budaya di TRBK.
Di bidang teater, Pemkab Batang bisa menggandeng Teater Angin di bawah asuhan A. Zaenuri atau Teater Detak milik SMA Islam Ahmad Yani Batang untuk menampilkan pementasan teater.
Di bidang seni musik, Sanggar Musik Rantansari, Lesbumi (lembaga kesenian milik NU) dan grup-grup musik lokal juga layak untuk unjuk kebolehan di panggung terbuka yang tersedia di TRBK. Sedangkan di bidang seni sastra, Komunitas Pena tentunya bisa menjadi partner yang tepat untuk menyelenggarakan kegiatan apresiasi kesusastraan seperti pentas pembacaan puisi.
Dan tentunya, komunitas kesenian tradisional juga harus mendapat kesempatan yang sama untuk tampil di TRBK. Batang mempunyai beberapa dalang lokal yang kualitasnya tidak kalah dengan dalang-dalang ‘mapan’. Ada pula grup kesenian Kuntulan dan Sintren yang kini semakin tersingkir oleh kesenian modern sehingga eksistensinya perlu dilestarikan.
Quo Vadis
Namun ada kerancuan dalam pencanangan TRBK sebagai pusat kebudayaan sekaligus sebagai taman rekreasi. Sebagai objek wisata, TRBK tentunya ditarget untuk mendulang pundi-pundi pendapatan asli daerah. Oleh karenanya, penjualan karcis masuk menjadi wajib hukumnya untuk menggenjot pemasukan.
Nah, di sinilah permasalahannya. Saya tidak bisa membayangkan masyarakat Batang (seperti juga masyarakat Indonesia pada umumnya) yang rata-rata tingkat apresiasinya terhadap kegiatan seni budaya masih sangat rendah mau mengeluarkan uang untuk menyaksikan kegiatan seni budaya seperti pentas teater, pembacaan puisi, atau pertunjukan wayang.
Mengaca pengelolaan pusat kebudayaan di daerah lain seperti Taman Budaya Yogyakarta atau Taman Budaya Raden Saleh Semarang di mana pengunjung tidak dipungut karcis masuk kecuali ada kegiatan khusus. Seharusnya jika Pemkab Batang benar-benar ingin menjadikan TRBK sebagai pusat kebudayaan maka hendaknya juga mencontoh pengelolaan pusat kebudayaan di daerah lain.
Dilematis memang. Sebab di satu sisi Pemkab Batang menargetkan pemasukan dari TRBK sedangkan di sisi lain juga berharap keberadaan TRBK bisa menggairahkan kegiatan budaya di Batang. Oleh karena itu, perlu dicarikan jalan tengah agar kedua fungsi TRBK tersebut bisa berjalan seimbang.
Menurut penulis, tanpa harus memungut karcis masuk dari para pengunjung pun, TRBK masih bisa mendulang pemasukan seperti dari penjualan tiket permainan becak air, penyewaan kios pedagang, penyewaan lahan untuk kegiatan tertentu.
Maka dari itu, penambahan fasilitas baru di TRBK menjadi wajib hukumnya untuk mendongkrak pemasukan TRBK seperti dengan membangun ruang pertemuan, kolam renang atau memindahkan kebun binatang mini yang sekarang berada di halaman depan rumah dinas bupati..
Sedangkan untuk menikmati kegiatan seni budaya di TRBK – setidaknya untuk saat ini – pengunjung tidak perlu dipungut biaya terlebih dahulu. Lalu, dari mana sebuah komunitas seni budaya mendapatkan dana untuk membiayai penampilan mereka di TBRK?
Pada titik inilah, keseriusan Pemkab Batang untuk menggairahkan kegiatan seni budaya di Batang dengan membangun TBRK dipertanyakan kembali. Sangat ironis apabila pada kondisi seperti sekarang ini Pemkab Batang membiarkan komunitas seni budaya tersebut pontang-panting mencari dana sendiri untuk menampilkan kreasinya di TRBK.
Seyogianya Pemkab Batang menganggarkan dana melalui APBD untuk menunjang kegiatan seni budaya di TRBK sehingga para seniman Batang tidak perlu khawatir lagi dengan masalah dana untuk menampilkan kreativitas mereka di TBRK.
Tanpa dukungan dan keseriusan dari Pemkab Batang untuk menggairahkan kegiatan seni budaya di TBRK, tidak mustahil apabila TBRK akan bernasib sama dengan THR Kramat beberapa tahun lalu yang merana dilupakan oleh masyarakatnya sendiri.
Tinggalkan Balasan