Kita baru saja menjadi saksi hidup sebuah peristiwa yang akan tercatat sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah peradaban manusia yaitu pelantikan Barack Hussein Obama sebagai presiden Amerika Serikat (AS) berkulit hitam pertama pada 20 Januari 2009 yang lalu.
Banyak pelajaran berharga yang dapat kita petik dari pernik-pernik kecil dalam acara pelantikan Obama yang disiarkan langsung oleh hampir seluruh stasiun televisi nasional kita. Khususnya terkait dengan penyelenggaraan acara pelantikan presiden, wakil presiden, dan pejabat publik lainnya di Indonesia. Apalagi dalam beberapa bulan ke depan, Indonesia juga akan menggelar pelantikan bagi presiden dan wakil presiden yang terpilih melalui Pilpres 2009.
Pesta Rakyat
Dari sisi teknis penyelenggaraan, pesta inaugurasi yang menghabiskan anggaran sebesar Rp. 1,7 triliun tersebut merupakan perpaduan antara formalitas sebuah acara kenegaraan dan kemeriahan sebuah pagelaran seni budaya. Acara tersebut benar-benar menjadi ‘pesta rakyat’ AS yang berlangsung khidmat dan khusyuk namun tetap menarik sekaligus menghibur.
Bertempat di sisi barat Gedung Capitol menghadap National Mall, sebuah area terbuka yang pada saat itu kabarnya menampung sekitar dua juta orang, acara pelantikan tersebut diselingi dengan pertunjukan musik dan pembacaan puisi. Nyaris tidak ada ‘parade pidato’ sebagaimana lazimnya acara-acara kenegaraan di Indonesia. Bahkan, puncak acara dari kegiatan tersebut yaitu pengambilan sumpah Obama dan Biden sebagai presiden dan wapres hanya berlangsung singkat.
Berbeda dengan Indonesia, pengambilan sumpah wakil presiden AS dilakukan sebelum pengambilan sumpah presidennya. Alasannya, jika terjadi sesuatu yang buruk pada presiden yang belum diambil sumpahnya maka tidak akan terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power) barang sedetik pun karena wapres sudah dilantik terlebih dahulu.
Jika kita bandingkan dengan prosesi pelantikan presiden dan wapres RI yang pernah dilakukan selama ini akan nampak sekali bedanya. Pelantikan presiden dan wapres RI selalu diselenggarakan di ruang tertutup yang tidak bisa disaksikan langsung oleh seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya, acara tersebut kehilangan maknanya sebagai sebuah momentum yang seharusnya bisa menjadi bukti adanya ikatan batin antara rakyat dengan pemimpin yang dipilihnya.
Format acara pelantikannya sendiri terkesan kaku dan minim sentuhan-sentuhan artistik yang akhirnya semakin menjadikan acara tersebut tidak menarik bagi rakyat meskipun disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi di negeri ini.
Makna Filosofis
Secara filosofis, rangkaian acara demi acara dalam prosesi pelantikan Obama-Biden menjadi wujud manifestasi tingginya penghargaan rakyat AS terhadap nilai-nilai humanisme dalam seluruh aspek kehidupan mereka di tengah kecaman masyarakat dunia atas kebijakan standar ganda yang diterapkan pemerintah AS.
Nilai-nilai humanisme yang dimaksud di atas adalah adanya penghargaan terhadap hasil kebudayaan, pengakuan terhadap peran penting perempuan dan keluarga, serta penghormatan terhadap perbedaan pendapat.
Disisipkannya acara pembacaan puisi oleh penyair perempuan AS, Elizabeth Alexander, dalam upacara pelantikan tersebut menunjukkan tingginya tingkat apresiasi masyarakat AS terhadap sastra sebagai salah satu hasil kebudayaan. Mereka menjadikan sastra tidak hanya sebatas sebagai sarana hiburan semata namun juga sebagai media yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan moral bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk untuk seorang pemimpin negara sekalipun.
Kehadiran Michelle Obama dan kedua putrinya, Malia dan Sasha, yang berdiri tepat di sisi Obama saat pengambilan sumpahnya sebagai presiden menjadi satu bukti pengakuan peran penting perempuan (istri) dan keluarga dalam menunjang kesuksesan seseorang. Bahkan, Michelle Obama-lah yang memegang Injil saat sang suami mengucapkan sumpah kepresidenannya.
Berbeda dengan pelantikan presiden dan wapres (juga pejabat publik lainnya) di Indonesia, sang istri tidak berada di sisi sang suami pada salah satu momen terpenting dalam kehidupannya tersebut. Sang istri baru akan mendampingi sang suami setelah seluruh rangkaian acara pelantikan selesai. Hal ini setidaknya menggambarkan bahwa peran perempuan di Indonesia masih dianggap sebagai ‘konco wingking’ semata.
Kebesaran hati untuk menghargai orang lain di tengah perbedaan yang ada juga ditunjukkan dalam pelantikan Obama-Biden. Beberapa mantan presiden AS, seperti Jimmy Carter, George Bush Sr., Bill Clinton, dan tentunya presiden sebelumnya, George W Bush, turut hadir sebagai bentuk penghormatan kepada Presiden Obama meskipun dalam beberapa hal mereka berseberangan.
Belum pernah terjadi di Indonesia pelantikan presiden dan wapres yang baru dihadiri oleh presiden dan wapres sebelumnya kecuali saat pelantikan Habibie yang disaksikan langsung oleh mantan Presiden Soeharto. Namun yang perlu dicatat, peristiwa itu terjadi dalam kondisi yang darurat dan kritis. Tentunya akan menjadi sebuah teladan yang baik bagi rakyat Indonesia apabila para pemimpinnya mau menghormati dan menghargai lawan-lawan politiknya.
Prasyarat
Kita berharap pelantikan presiden dan wapres RI yang terpilih dalam Pilpres 2009 nanti akan menjadi sebuah ‘pesta rakyat’ yang sebenarnya. Untuk mewujudkan harapan tersebut, prasyarat utama yang dibutuhkan adalah kehadiran figur pemimpin yang memenuhi harapan sebagian besar rakyat Indonesia. Sehingga saat figur tersebut terpilih, rakyat dengan suka-cita menyambut dan mengelu-elukannya dalam sebuah upacara pelantikan yang dikemas sedemikian rupa sehingga meriah dan menghibur namun tetap khusyuk.
Tentunya kita tidak boleh menjiplak mentah-mentah format acara pelantikan presiden AS tersebut. Kita seharusnya bisa mencari format acara yang sesuai dengan tradisi dan kepribadian bangsa kita sendiri. Namun tidak ada salahnya apabila dalam pelantikan presiden dan wapres 2009 nanti, kita bisa mendengarkan suara merdu Melly Goeslaw atau Ebiet G. Ade menyanyikan lagu penggugah rasa nasionalisme serta merenungi pembacaan puisi sarat pesan dari Taufik Ismail atau W.S. Rendra. Sungguh menarik bukan?
Tinggalkan komentar