Pagi yang cerah matahari tampak bersinar dengan indah. Warnanya yang keemasan terlihat begitu megah. Inilah hari yang penuh dengan barokah.
Ketika sebuah angkutan umum berhenti di seberang Alun-alun Batang, seorang anak perempuan turun dari angkutan tersebut dan berlari-lari keci menyeberangi jalan raya. Jilbab lebarnya berkibar ditiup angin. Ia tetap berjalan kemudian belok dan masuk ke sebuah gang.
“Zahra … tunggu Ra ..!” Tiba-tiba terdengar teriakan di belakangnya. Gadis yang bernama Zahra itu menoleh dan tersenyum melihat temannya tersengal-sengal setelah berlari.
“Olah raga ya?” candanya dengan senyum tetap tersungging di bibirnya.
“Sialan kamu, Ra. Aku ngejar-ngejar kamu sambil terus manggil namamu. Eh, kamunya nggak denger. Jadi capek nih!” jawab Nikmah dengan muka cemberut. “Afwan deh. Habis aku nggak denger. Ya udah .. yuk jalan. Nanti kita keburu telat loh!” kata Zahra.
Kemudian keduanya memasuki gedung SMP Islam Batang dan menaiki tangga menuju ruang kelas mereka di lantai dua.
***
Di dalam kelas, siswa-siswi diam memperhatikan Bu Masruroh, guru PAI yang sedang menjelaskan materi tentang berbakti kepada kedua orang tua. “Apabila di antara anak dan orangtua berlainan agama. Maka sang anak tidak wajib mengikuti ajakan kedua orang tuanya.” jelas Bu Masruroh di depan kelas.
“Kita tidak boleh membantah perintah mereka, kecuali apabila disuruh untuk menyekutukan Allah, barulah kita boleh menolaknya tetapi dengan cara yang halus dan tidak menyinggung perasaan mereka. Betapa mulianya kedua orang tua kita terutama ibu sampai-sampai Allah SWT menyejajarkan perintah berbakti kepada orangtua degan perintah beribadah kepada-Nya sebagaimana yang termaktub dalam QS Annisaa’ ayat 36.” terang Bu Masruroh.
Tak terasa air mata Zahra mengembang di pelupuk matanya. Ibunya telah meninggal dunia dua tahun yang lalu karena penyakit jantung. Ia sudah tidak lagi merasakan belaian kasih sayang seorang ibu. Ia hanya hidup bertiga dengan ayah dan seorang kakak laki-lakinya bernama Reza yang sekarang duduk di kelas XI SMA.
Ayahnya jarang di rumah, selalu sibuk dengan bisnisnya. Belum tentu seminggu sekali di rumah. Sedangkan kakaknya, semenjak kematian ibunya, ia berubah menjadi anak yang susah diatur. Tingkah lakunya urakan. Bahkan sering tidak pulang ke rumah hingga berhari-hari lamanya. Saat pulang ke rumah, tidak jarang Reza sudah dalam keadaan babak belur akibat berkelahi. Bahkan lebih parah lagi, Reza beberapa kali pulang dalam keadaan mabuk. Ini yang membuat Zahra semakin sedih mengingat kondisi keluarganya saat ini.
“Ra … Ra …! Kamu kenapa sih? “ bisik Nikmah di sebelahnya.
“Eh, nggak papa kok” jawabnya sambil menghapus air matanya.
Teeet … teeet …. teeet ….
Bel tanda pulang pun berbunyi. Para siswa segera berkemas-kemas dan berdoa bersama sebelum pulang.
***
Sesampai di rumah seperti biasa, rumah selalu sepi tidak ada orang. Tapi begitu melangkah hendak ke kamarnya, ia mendengar suara orang tertawa terbahak-bahak dari dalam kamar Reza. Ia merasa heran tumben sekali kakaknya sudah pulang.
Kemudian diketuknya pintu kamar kakaknya. “Kakak udah pulang ya?” teriak Zahra di depan pintu kamar Reza. Sontak ruangan itu sepi. Zahra tambah heran. “Kak … kakak di dalam kan?” ulangnya lagi.
“Ada apa?” terdengar teriakan marah dari dalam kamar. Itu suara Reza.
“Nggak apa-apa.” Kemudian ia beranjak menuju kamarnya mengganti baju. Tapi entah mengapa perasaannya tidak nyaman dengan kepulangan kakaknya yang tidak biasa itu. Seharusnya ia merasa senang kakaknya pulang ke rumah. Itu berarti pertanda baik. Suatu perubahan positif dari kakaknya. Namun entah mengapa dia merasa ada sesuatu yang aneh. Alarm di hatinya berbunyi mengatakan ada sesuatu yang tidak beres yang tidak diketahuinya.
Berhari-hari ia mencoba menormalkan kembali perasaannya. Tapi semakin ia mencoba menenangkan perasaannya, semakin kuat pula perasaan itu mendera hatinya.
Hingga pada suatu hari ketika Zahra pulang sekolah, seorang satpam telah menunggu di depan pintu rumahnya yang terkunci.
“Maaf, apa benar ini rumah Reza Pahlevi?” tanya satpam tersebut.
“Iya benar, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” jawab Zahra sopan.
“Begini, apakah orangtua Reza ada di rumah? Saya ingin bertemu dengan mereka.” lanjut satpam tersebut. “Maaf, Pak, ayah saya tidak ada di rumah. Masih di luar kota. Mungkin tiga hari lagi baru pulang. Apa ada yang perlu disampaikan? Saya adik Reza, Pak.” kata Zahra.
“Baiklah, dik. Ini ada surat dari sekolah Reza. Dia dikeluarkan dari sekolah.” mata Zahra terbelalak kaget. “Lho Pak, apa salah kakak saya? Kok sampai dikeluarkan dari sekolah?”
“Maaf dik, saya kurang tau tapi kata teman-temannya. Reza ketahuan sedang pesta narkoba.” jawab satpam tersebut.
“Astaghfirullahal adziim. Kak Reza …. Narkoba?” mata Zahra terbelalak, bibirnya terbuka, tubuhnya gemetar.
Kini terjawab sudah keresahan dan kegundahan hatinya selama ini.
***
Malam harinya Reza pulang. Kali ini tidak dalam keadaan mabuk. Tapi mukanya terlihat sangat kusut, matanya cekung dan tubuhnya tampak lebih kurus.
“Darimana Kak Re?” tanya Zahra pelan. Takut kakaknya meledak tiba-tiba. “Apa urusan loe? Anak kecil tau apa?” jawabnya kasar.
“Kak, Zahra cuma nanya, kakak darimana kok baru pulang sekarang?” tanyanya hampir menangis. “Loe tuh anak kecil, urus aja urusanmu sendiri. Nggak usah ikut campur urusan orang lain. Lagian tau apa loe?” gerutu Reza.
“Kak Re, tapi Zahra tau apa yang Kak Re lakuin selama ini. Nih dapat surat dari sekolahmu. Kakak dikeluarkan.” ujarnya sambil menyerahkan surat tersebut ke tangan Reza.
“Maksud loe apa sih. Gue nih lagi bete tau. Nggak usah ditambahin dengan masalah baru,”bentaknya dengan keras. “Kak Re dikeluarin dari sekolah karena Kak Re ketahuan lagi pesta narkoba kan?” kata Zahra sembari menahan tangis.
“Loe tau apa anak kecil! Nggak usah nyampurin urusan gue. Masalah dikeluarin dari sekolah, itu masalah gue.”
“Kak! Narkoba itu akan merusak masa depan Kak Re sendiri. Kalau memang benar, tobatlah Kak!” teriak Zahra parau. “Loe mau menggurui gue,” teriak Reza tidak mau kalah.
“Kenapa, Kak? Sejak ibu meninggal Kak Re jadi berubah gini. Kasihan Ibu di sana, Kak. Ibu nggak akan tenang kalau Kak Re kayak gini. Seharusnya …. .” PLAK. Belum selesai Zahra bicara, sebuah tamparan mengenai pipinya.
“Loe nggak usah bawa-bawa ibu dalam urusan gue. Sekali lagi loe seperti itu, gue akan segan-segan ngehajar loe, ngerti!” ancam Reza. Kemudian dia masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkan bunyi pintu dibanting sekeras mungkin.
Zahra menangis tersedu-sedu sambil memegangi pipinya yang memerah terkena tamparan kakaknya. Ia begitu sedih dengan perubahan kakaknya. Ketika masih ada ibunya, Reza akan yang penurut. Ia juga rajin beribadah. Shalat lima waktu tak pernah ia tinggalkan. Bahkan ia juga aktif di kegiatan remaja masjid di kompleks rumahnya.
Dulu ketika masih SMP, Reza pernah mondok di Pesantren Gontor Jawa Timur. Ketika lulus SMP, ia lebih memilih boyong dan melanjutkan sekolahnya di Batang. Setiap sore ia mengajar anak-anak mengaji di Masjid Baiturrahman, masjid di dekat rumahnya.
Tapi sejak ibu meninggal, Reza berubah seratus delapan puluh derajat. Dia tidak lagi mengajar mengaji bahkan shalatpun kadang ia tinggalkan dan lama-kelamaan minuman yang sangat dilarang Allah pun ia tenggak. Dan sekarang narkoba.
“Inikah takdirmu ya Allah. Begini pahitkah kisah hidupku ini?” ratap Zahra pilu.
Berjalan di titian kodrat
Apa yang harus kita lakukan
Jika berharap ia menentukan[1]
***
Pagi itu Zahra merasa suhu tubuhnya meningkat badannya sangat panas dan kepalanya terasa mau pecah, sakit luar biasa. Semalaman dia tidak tidur. Ia hanya menangisi kakaknya. Hari ini dia tidak berangkat sekolah.
Ketika hendak ke kamar mandi, ia melihat kakaknya sudah siap pergi. Dia mencoba menyapa kakaknya tetapi dia tidak menjawab. Dengan pedih Zahra memandang punggung kakaknya yang semakin kecil menghilang.
Setelah seharian beristirahat di rumah, malam harinya Zahra sudah merasa lebih baik. Ia terjaga dari tidurnya ketika mendengar derit pintu depan dibuka. Ia segera keluar dari kamar dan mendekati kakaknya yang sudah duduk di sofa seraya menekan tombol remote televisi.
“Kak Re baru pulang ya?” ucapnya lemah. Tapi bukannya jawaban yang diperolehnya, Reza malah membanting remote yang sedang dipegangnya. Zahra kaget melihat reaksi kakaknya.
“Bukan urusan loe!” katanya menekan suaranya.
“Kak, sampai kapan Kak Re mau kayak gini? Kasihan ayah Kak, juga Ibu.” tandas Zahra.
“Heh mau gue tampar lagi mulut loe!” Tiba-tiba HP Reza berdering kemudian diangkatnya dengan kasar. “Apa lagi!” makinya geram. Suara di seberang telepon terdengar kurang jelas di telinga Zahra. Tapi Zahra yakin pasti ada hubungannya dengan kelakuan kakaknya selama ini.
“Loe emang brengsek!” umpat Reza lagi. Samar-samar Zahra mendengar suara di tawa di ujung telepon.
“Oke tapi ingat ini yang terakhir kali. Di mana, katakan cepat!” suara di seberang telepon menjawab.
“Oke gue segera datang.” Reza mematikan HP-nya dan berlari keluar.
“Kak mau kemana?” teriak Zahra, tapi Reza tidak menjawab. Ia tetap berlari. Zahra yang merasa ada sesuatu yang tidak beres pun ikut berlari membuntuti kakaknya. Ia berhenti ketika melihat Reza berhenti dan masuk ke sebuah gubuk reot di sebuah kebun yang cukup rimbun.
Napas Zahra ngos-ngosan, kepalanya berdenyut. Ia mengatur napasnya kembali. Kemudian ia mendengar suara membentak dari dalam gubuk. Tertatih ia mendekati gubuk tersebut dan mengintip dari balik celah dinding kayu gubuk tua itu.
“Enak aja loe nggak mau bayar, Re!” bentak seorang di dalam.
“Tentu saja tidak, kemarin kita pakai bareng-bareng. Bahkan gue udah bayar separuh. Nah kenapa mesti gue bayar lagi.”
“Itu suara Reza” batin Zahra.
“Hajar dia!” teriak seorang dari mereka. Zahra dapat memastikan orang yang mengeroyok kakaknya ada tiga orang. Mereka pasti para pengedar narkoba.
Ketika seorang hendak memukul Reza. Ia segera berkelit gesit. Dua orang kena gampar Reza. Satu orang yang lain hendak menendang kaki Reza tapi sudah keburu kena bogem mentah Reza.
Dari persembunyiannya Zahra menggigil ketakutan melihat kakaknya dikeroyok. Tiba-tiba seorang dari mereka membawa sebuah kayu besar hendak dipukulkankannya ke kepala Reza dari belakang. Spontan Zahra segera menerobos masuk dan mendorong tubuh Reza.
“Kak Re, awas belakang Kak!” teriaknya dan BUUK!
Tubuh Zahra berdiri mengejang tanpa suara lalu ambruk. Reza yang terjatuh karena didorong Zahra segera bangkit dan berdiri dengan marah setelah melihat tubuh adiknya, Zahra, terkapar tak berdaya.
Sementara itu, para pengedar narkoba yang menyadari telah salah sasaran, segera kabur. Reza berniat mengejar mereka namun diurungkan niatnya itu begitu teringat bahwa adiknya butuh pertolongan segera.
Reza menubruk tubuh adiknya dan memeluknya erat-erat. “Zahra …!” teriaknya membelah kesunyian malam itu. Kemudian dibopongnya tubuh adiknya meninggalkan tempat itu menuju rumah sakit.
***
Dua hari kemudian setelah kejadian itu, Reza termenung di bangku rumah sakit. Ia begitu menyesali kejadian yang akhirnya menyebabkan adiknya terbaring di rumah sakit. Ia merasa sangat bersalah atas kejadian tersebut.
Sudah dua hari Zahra belum sadar. Kepalanya terkena pukulan yang sangat keras. Hal lain yang semakin membuatnya sedih adalah ternyata menurut Dokter Ramzi yang merawat Zahra, adiknya tersebut telah lama mengidap penyakit meningitis, yaitu penyakit radang selaput otak yang menular disebabkan oleh kuman maningokoccal. Dia merasa sangat berdosa karena tidak pernah memperhatikan adiknya selama ini terutama sejak kepergian ibunya.
“Reza” panggil seseorang di sebelahnya tiba-tiba.
“Ayah” ucapnya begitu dilihat siapa yang memanggilnya.
“Bagaimana keadaan adikmu, Re?” tanya ayahnya.
“Maafkan Reza, Yah. Seharusnya Reza menjaga Zahra. Tetapi justru Reza-lah yang menyebabkannya jadi begini.” jawab Reza dengan penuh penyesalan.
Seorang perawat berjilbab putih menghampiri ayah dan anak itu. “Maaf, Pak. Pasien bernama Fatimah Az-Zahra sudah sadar. Dia ingin bertemu dengan keluarganya!” kata perawat tersebut. Mereka bergegas menuju ruangan di mana Zahra dirawat.
“Zahra, bagaimana keadaanmu, Nak?”
“Ayah” ujarnya lemah.
“Zahra, maafin Kak Re ya!” ucap Reza. Semuanya terdiam. Menunggu. Zahra pun mengangguk lemah seraya tersenyum tipis. Matanya jernih, sejernih batu giok.
“Zahra sudah nggak merasa sakit sedikit pun. Zahra sudah sembuh. Makanya Zahra pengin pergi. Kak Re, jangan ulangi lagi perbuatan itu ya Kak! Zahra mau Kak Re jadi Kak Re yang kayak dulu.”
“Jangan bilang gitu, Ra! Emangnya kamu mau pergi ke mana?” tanya Reza takut.
Aku cemas bila kehilangan kamu
Aku cemas pada kecemasanku[2]
“Entah Kak, pokoknya Zahra pengin pergi. Zahra belum pernah lihat tempat itu tapi Zahra yakin Zahra pasti bisa sampai sana.” senyumnya mengembang.
“Zahra kamu jangan bilang gitu dong! Nanti kalau kamu pergi siapa yang akan menasihati dan menemani Kak Re!” kata Reza lirih.
Tapi Zahra tidak menjawab. Senyumnya masih tetap mengembang namun tatapan matanya telah hampa.
“Ra …. bangun Ra. Jangan tinggalin Kak Re. Zahra ….!” pecahlah tangis Reza.
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kamu kepada Tuhan-Mu dengan hati puas lagi diridhoi. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.[3]
[1] Petikan sajak berjudul “Tuhan dan Titah-Nya” karya Fatin Humama.
[2] Puisi karya John Cornford yang diterjemahkan oleh Chairil Anwar.
[3] Terjemahan QS. Al Fajr : 27 – 30.
Tinggalkan Balasan