Kekhawatiran sejumlah kalangan – mulai dari Wakil Bupati Batang, Drs. Achfa Mahfudz hingga aktivis lingkungan hidup – atas dampak negatif pembangunan PLTU Batang sebagaimana dilansir oleh harian ini (SM, 13/8) patut menjadi bahan renungan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) proyek PLTU tersebut.
Kekhawatiran mereka cukup beralasan mengingat PLTU yang akan dibangun di Batang ini diklaim akan menjadi yang terbesar se-Asia Tenggara dengan kapasitas produksi listrik sebesar 2 x 1000 megawatt. Sementara, PLTU di daerah lain dengan kapasitas yang lebih kecil saja telah menimbulkan keresahan bagi warga sekitarnya.
Apalagi hingga saat ini, studi Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) megaproyek bernilai Rp. 30 triliun ini belum dilakukan. Padahal rencananya mulai Desember 2011 nanti proyek tersebut akan mulai direalisasikan. Oleh karena itu, senyampang masih ada waktu, tidak ada salahnya kita menimbang kembali untung-rugi keberadaan PLTU sembari menyiapkan langkah-langkah antisipatif untuk mengurangi dampak PLTU tersebut kelak.
Dampak PLTU
Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran PLTU akan menggerakkan perekonomian masyarakat di sekitar lokasi PLTU. Proses pembangunan PLTU akan mendatangkan ratusan pekerja bangunan. Setelah beroperasi nantinya, PLTU ini dikabarkan akan mampu menyerap sekitar 1.000 tenaga kerja. Hal ini tentu bisa menjadi peluang usaha bagi masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para pekerja tersebut.
Namun di balik semua itu ada pertanyaan yang lebih esensial yaitu berapa persen warga lokal yang akan diserap dalam proyek tersebut? Masalah ini akan menjadi isu hangat jika ternyata untuk bekerja di PLTU tersebut menuntutkan kualifikasi dan kompetensi yang tinggi. Apabila masalah ini tidak diantisipasi sejak dini, kecemburuan sosial akan menjadi “bom waktu” bagi pengelola PLTU dan Pemkab Batang.
Berkaca dari pengelolaan PLTU di daerah lain seperti PLTU Karangkandri Cilacap dan PLTU Rembang, telah terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup di sekitar lokasi PLTU. Polusi akibat sebaran debu halus batubara yang menjadi bahan bakar PLTU akan sering dikeluhkan oleh warga.
Terlebih jika rencana pembangunan PLTU ini jadi ditempatkan di sekitar Pantai Ujungnegoro yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), maka risiko kerusakan ekosistem di kawasan tersebut semakin besar. Padahal, di kawasan tersebut terdapat terumbu karang langka yang menjadi tempat berkembang-biaknya ikan dan biota laut lainnya.
Rusaknya terumbu karang dipastikan akan menyebabkan berkurangnya populasi ikan dan biota laut lainnya di wilayah tersebut. Akibatnya, penghasilan para nelayan sekitar pun akan menurun.
Di samping itu, di kawasan Pantai Ujungnegoro juga terdapat makam/petilasan Syeikh Maulana Maghribi yang sering menjadi tempat ziarah bagi masyarakat Batang dan sekitarnya. Bahkan, setiap bulan Safar masyarakat setempat selalu mengadakan kegiatan haul di sekitar lokasi makam. Pantai Ujungnegoro sering pula dijadikan sebagai tempat melakukan ru’yatul hilal (melihat bulan) untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri.
Hal tersebut menunjukkan bahwa secara religi dan kultural wilayah Pantai Ujungnegoro sangat bermakna bagi kehidupan masyarakat sekitarnya. Kehadiran PLTU di kawasan tersebut dikhawatirkan akan mengusik fungsi religi dan kultural tersebut.
Langkah Antisipatif
Secara jujur harus diakui bahwa penolakan terhadap PLTU mungkin hanya akan menemui jalan buntu karena proyek ini menyangkut agenda nasional yaitu memenuhi kebutuhan listrik di Jawa-Bali yang semakin meningkat.
Namun, alasan di atas tidak boleh menjadi pembenaran untuk mengorbankan masyarakat di sekitar lokasi PLTU dengan dalih demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Berapapun jumlah warga yang akan terkena dampak dari proyek tersebut, mereka tetaplah warga negara sah republik ini yang wajib dilindungi.
Oleh karena itu, Pemkab Batang perlu melakukan langkah-langkah antisipatif untuk – setidaknya – meminimalkan sejak dini dampak yang mungkin ditimbulkan oleh PLTU ini. Pertama, Pemkab harus memastikan bahwa penyusunan studi amdal proyek ini dilakukan secara komprehensif dan independen serta hasilnya disampaikan secara terbuka kepada publik.
Kedua, harus diingat bahwa Pemkab memiliki hak untuk ikut menentukan lokasi PLTU tersebut. Oleh sebab itu, lokasi yang dipilih haruslah lokasi yang paling kecil kemungkinannya menimbulkan dampak bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Ketiga, Pemkab (dan investor) harus memberikan sosialisasi secara jujur dan terbuka kepada masyarakat mengenai dampak yang dapat ditimbulkan dari PLTU tersebut. Hal ini penting dilakukan agar masyarakat lebih siap dalam mengantisipasi dampak-dampak tersebut. Informasi yang tidak jujur hanya akan menyebabkan masyarakat semakin antipati terhadap proyek tersebut.
Saat ini, “bola” ada pada Pemkab Batang. Apapun keputusan yang diambil hendaknya menempatkan kepentingan jangka panjang masyarakat Batang di atas keinginan untuk mengejar keuntungan sesaat.
warga ujung masih banyak yang “diam”..
karena tidak mau terjadi kesalahpahaman antar sesama
lha sebenarnya bagaimana sikap sebagian besar warga ujung dengan rencana pembangunan PLTU di sana?
Warga Ujung yang pastinya bermacam-macam pendapat. Ada yang pro, kontra, bahkan adapula yang “mbah-mboh” pak.
Bagi yang pro, mereka lebih mengambil ke hal-hal “positif”
Bagi yang kontra, kebanyakan mereka memikirkan dampak jangka panjangnya. Baik bagi sanitasi maupun hal lainnya.
Lha bagi yang “mbah-mboh”, mereka tidak mau tau apa iti PLTU.
Itu menurut saya…
Mengenai dengan adanya pltu,say sebagai masyarakat btng antisifasi penimbang untung ruginya proyek tersebut,dengan langkah y6 kongkrit,banyak kemungkinan juga bisa memperluangkan tenaga krja kususnya wilayah btng..