Ketika diminta teman-teman Gusdurian Batang untuk menulis esai singkat tentang kesederhanaan Gus Dur yang terlintas pertama kali di benak saya adalah sebuah paradoks. Ya, Gus Dur adalah sebuah paradoks kesederhanaan dalam kompleksitas.
Memahami kesederhanaan Gus Dur berarti juga harus mau menyelami kompleksitas pemikiran, sikap, dan tindakan Gus Dur. Sebagai tokoh yang mewarisi darah biru keulamaan dari kakek dan ayahandanya, Gus Dur tidak hanya menampakkan wajah keislaman saja namun juga memancarkan spektrum kebangsaan dan kemanusiaannya secara luas.
Seperti telah kita ketahui bahwa Gus Dur adalah ketua organisasi keislaman terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, untuk beberapa periode. Di sisi lain, Gus Dur juga pernah menduduki jabatan Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Dua posisi yang kelihatannya “berseberangan” namun dijalani Gus Dur dengan sukses.
Gus Dur sangat fasih dalam mengartikulasikan gagasan-gagasan melalui tulisan yang tersebar di berbagai media massa. Berbagai tema dibahasnya dengan sangat bernas mulai dari wacana pribumisasi Islam, hak asasi manusia, dunia pesantren, dan kebudayaan. Selain sangat menguasai tema-tema “berat” tersebut, Gus Dur juga piawai menjadi komentator sepak bola dan pernah menjadi juri Festival Film Indonesia. Paradoks yang mungkin hanya bisa dilakukan oleh Gus Dur dengan santai.
Kompleksitas Gus Dur juga bisa kita lihat dari perjalanan karier politiknya. Tahun 1999, bersama beberapa ulama NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa yang mengantarkannya menduduki jabatan Presiden RI “mengalahkan” calon dari partai pemenang pemilu saat itu. Namun, kemudian dijegal oleh orang-orang yang dulu mendukungnya yang membuatnya harus lengser dari kursi kepresidenan dan kehilangan kendali atas partai yang didirikannya. Namun, Gus Dur masih bisa dengan santai berkata, “tidak ada satu jabatan di dunia ini yang layak dipertahankan mati-matian apalagi dengan pertumpahan darah.”
Itulah kesederhanaan Gus Dur. Memandang suatu persoalan dalam perspektif yang berbeda dengan orang kebanyakan. Sebab itulah sering kali Gus Dur disalahpahami dan dianggap nyleneh. Padahal jika kita mau mengkaji lebih dalam, tidak ada satu pun gagasan dan pemikiran Gus Dur yang nyleneh. Semuanya berpijak pada realitas di sekitar kehidupan kita sehari-hari.
Sekitar tahun 80-an, Gus Dur menulis sebuah artikel berjudul “Islam Kaset dengan Kebisingannya” yang pada saat itu dianggap aneh apalagi dilontarkan oleh seorang yang dipandang sebagai kyai. Sebuah otokritik kepada umat Islam dalam melaksanakan ajaran agamanya di bumi Nusantara yang majemuk. Lalu, tetiba kita dihenyakkan dengan vonis 18 bulan penjara yang dijatuhkan pengadilan kepada Ibu Meiliana yang dituduh menistakan agama karena keberatan dengan suara adzan yang menurutnya terlalu keras. Apa yang dikhawatirkan Gus Dur puluhan tahun silam menjadi realitas yang harus kita hadapi bersama saat ini sebagai sebuah bangsa yang katanya ramah dan toleran.
Gus Dur adalah beyond the future. Pemikiran-pemikirannya terkadang melampaui zamannya sehingga baru bisa kita pahami maksudnya jauh setelah Gus Dur meninggalkan kita.
Membicarakan Gus Dur dalam tulisan sepanjang dua halaman ini pastilah tidak akan bisa merangkum seluruh kompleksitas pemikiran, sikap, dan tindakannya. Terlebih lagi ditulis oleh seseorang yang relatif berjarak secara waktu dan kapasitas. Gus Dur – dengan kesederhanaannya – justru menunjukkan kedudukannya sebagai manusia biasa yang memiliki kekurangan dan kelebihan.
Terlepas dari banyak orang yang menganggapnya sebagai orang hebat, bahkan wali, namun kesederhanaan Gus Dur tetap terbawa hingga ke liang lahatnya. Berbagai jabatan, posisi, kedudukan pernah disandangnya, namun Gus Dur hanya ingin selalu dikenang sebagai seorang humanis. Sebagaimana tertulis di atas batu nisannya, “Di sini terbaring seorang pejuang kemanusiaan.”
Lahul fatihah ….
M. Arif Rahman Hakim
Gusdurian
Tinggalkan komentar